"Tragedi" ITN dan Citra Malang Kota Pendidikan

Saat ini sedang gencarnya pemberitaan seputar dugaan kasus kekerasan mahasiswa senior kepada peserta Kemah Bakti Desa Mahasiswa Baru ITN yang dilakukan bulan oktober 2013 lalu, yang berujung meninggalnya salah satu peserta maba asal NTB. Kasus ini sebetulnya sudah 'selesai' secara kekeluargaan beberapa hari setelah kejadian, namun dahsyatnya kekuatan media jejaring sosial (Twitter-Facebook-Media Online) yang kembali 'menggoreng' kasus itu belakangan ini berhasil menguak luka lama lalu meledak menjadi berita nasional. Berita pun gencar di media cetak, online bahkan TV nasional. Tak tanggung-tanggung, POLDA JATIM turun tangan.


Orientasi (lazimnya di sebut OSPEK) lanjutan berupa Kemah Bakti Desa adalah program rutin bagi kampus seperti ITN. Tradisi ini merupakan program tahunan yang dilakukan oleh lembaga mahasiswa dan atas persetujuan pihak kampus. Kalau dilihat dari konsepnya, Kemah Bakti Desa (KBD) ataupun orientasi lanjutan ini sebetulnya program bagus untuk semakin memperkenalkan organisasi kepada mahasiswa baru, melatih mental dan disiplin serta mempererat ikatan emosional antara mahasiswa baru dengan para senior yang menjadi panitia KBD.

Namun rupanya pada tataran aplikasi, program bagus ini menyimpang dari tujuan semula karena pola yang dilakukan penuh dengan unsur kekerasan, indikasi pelecehan, intimidasi serta aktifitas fisik yang tidak memperhitungkan stamina mahasiswa baru yang tentu berbeda dengan calon tentara misalnya. Bila melihat sekilas maka penerapan acara ini justru tidak membangun ikatan emosional apalagi memiliki nilai edukasi, yang ada justru penindasan dan penyiksaan psikis dan fisik.

Ironisnya hal ini dilakukan di institusi akademik yang seharusnya rasional dan menggunakan pendekatan intelektual. Dan yang lebih miris lagi adalah kontrol pihak pengelola pendidikan (Rektorat - Dekan -Kajur) sama sekali tidak memiliki arti sehingga tak heran kasus kekerasan masih bisa terjadi di era yang sudah begini rasional dan berakal sehat.

Salah satu faktor kenapa kasus kekerasan pada saat acara orientasi bisa terjadi adalah karena kultur ini dibangun sejak lama, tanpa kontrol yang serius, sehingga menimbulkan dendam bagi mahasiswa baru untuk kemudian memiliki niat untuk melakukan hal yang sama pada mahasiswa juniornya kelak ketika dia sudah menjadi senior. Dendam ini turun temurun dan selalu menimbulkan korban dan puncaknya adalah ada yang meninggal di lokasi acara karena dugaan sementara adalah dehidrasi dan kelelahan, dugaan lain adalah karena kekerasan dan tekanan psikis.

Program orientasi baik itu OSPEK atau KBD memang sudah saatnya di kaji kembali relevansinya dengan peningkatan kualitas mahasiswa baru. Perpeloncoan, memukul psikologis dan olah fisik atas nama apapun harus segera dievaluasi karena tidak semua mahasiswa senior paham akan stamina dan kadar ketahanan fisik mahasiswa baru. Menjadikan maba sebagai objek yang dipelonco, ditindas dan direndahkan sebetulnya sudah bukan jamannya lagi dan menag tidak pantas dilakukan di institusi akademik. Semua kampus di kota pendidikan ini harus evaluasi diri.

Yang menarik adalah peran media online di dalam memperluas berita dan informasi kasus ITN ini cukup besar. Betapa tidak, kasus yang sudah dianggap selesai oleh semua pihak justru dalam sekejap menjadi trending topik nasional karena cepatnya publikasi melalui jejaring sosial. Polisi langsung bergerak cepat memeriksa ratusan mahasiswa baik yang peserta KBD maupun panitia (Fender) yang diduga melakukan kekerasan terorganisir ini.

ITN merupakan salah satu kampus besar di kota Malang, termasuk salah satu kampus swasta favorit yang eksis ditengah tumbangnya beberapa kampus swasta besar lainnya yang kekurangan mahasiswa akibat kampus negeri (UB-UM) membuka begitu banyak program-jurusan baru dengan rekruitmen belasan ribu maba tiap tahunnya.
Sungguh ironis bila saat ini ITN yang tengah gencar promosi (Mantan Mahasiswanya kini menjadi Walikota Malang) harus menanggung malu, tercoreng, dicaci dan nanti pasti berimbas pada masa depannya.
Kampus besar, eksis yang telah mencetak sarjana-sarjana hadal yang memiliki sarana lengkap dan modern ini harus menanggung semua beban akibat hukuman dan tekanan publik nasional gara-gara ulah beberapa oknum yang tidak paham menjaga wibawa dan moral almamater.

Nasi sudah menjadi bubur. Peristiwa telah terjadi. Rasa sesal sudah tak berarti. Proses hukum sedang berlangsung ditengah sorotan publik dan kontrol media yang ketat. Mendiknas juga sudah angkat bicara. TV One tak mau ketinggalan dalam membawanya dalam acara ILC live. Kota Malang pun pasti ikut kecipratan sorotan publik, 'sebuah tragedi kemanusiaan di kota pendidikan'.

Setitik nila merusak susu sebelanga.
Semoga kita semua dan kampus lainnya sama-sama mau evaluasi dan menyadari, "kita pernah melakukan hal yang sama atau serupa?"