EKO-HISTORIS KAMPUNG KUNO PADA DAS METRO ‘KALISONGO-KAMPUNG CEMPLUK

Ritual Budaya di Desa Kalisongo Malang Jatim / sumber foto akun facebook Dwi Cahyono
Oleh : Dwi Cahyono
(Arkeolog & Dosen UM)
A. Aspek Lingkungan
Desa Kalisongo di Kecamatan Dau Kabupaten Malang merupakan salah sebuah desa yang berada di DAS Hulu Kali Metro. Apabila desa-desa yang berada di DAS Kali Metro dinamai ‘Metro pradesa’, maka Desa Kalisongo adalah desa bersejarah yang berada dalam konteks Metropradesa tersebut. Pada desa ini, Kali Metro mendapat pasokan air yang singnifikan dari Kalisongo, yaitu suatu sungai yang bermata air di sembilan (songo) mata air (tuk). Oleh sebab itu bisa difahami bila pasca pertemuan (tempuran) Kali Songo dan Kali Gasek (sebutan bagi ruas Kali Metro sebelum bertemu dengan Kali Songo) debit air dan lebar batang sungai dari Kali Metro terlihat mengalami peningkatan.

Lingkungan fisis-alamiah dan sosial-budaya Desa Kalisongo dengan demikian tak bisa dipisah dari konteks ekologis Kali Metro. Kalisongo yang mengalir di Dusun Sumber-rejo dapat pula dinyatakan sebagai anak sungai dari Kali Metro. Dari sudut pandang sejarah, Kali Metro adalah salah sutu sungai di kawasan Malangraya, yang pada Masa Hindu-Buddha diyakini sebagai sungai suci, lantaran mata air (tuk)-nya berada di lereng timur Bukit Panderman, yakni anak Gunung Kawi yang konon (masa Hindu-Buddha) juga diyakini sebagai gunung suci (holly mountain). Kali Metro dari masa ke masa dalam perjalanan panjang sejarah Malang menjadi unsur fisis-alamiah yang turut serta membentuk peradaban yang membentang di sebelah timur (sakarida) Gunung Kawi, yang kini termasuk dalam wilayah ‘Malang Raya’.
Cempluk Terkait dengan Gunung Kawi, Desa Kalisongo dapat juga dinyatakan sebagai berada di lembah timur Gunung Kawi. 

Sebagai daerah yang berada di lembah gunung, topografisnya tidak rata dan air tanah berada pada kedalam 15 m atau lebih dari permukaan tanah. Oleh karena itu, dalam kurun waktu yang amat lama (hingga 1980-an), warga sekitar tidak banyak yang memiliki sumur, alih-alih mereka menggantungkan pemenuhan akan air bersih dari Kalisongo. Mandi, mencuci, ngangsu air untuk kebuthan rumah-tangga, bahkan memandikan bayi yang baru lahir dan ketika memasuki usia tujuh bulan (mitoni), dsb. pun dilakukan di Kalisongo. Lantaran itu, maka desa ini dinamai dengan ‘Desa Kali Songo’. Adalah suatu kelaziman bahwa nama suatu tempat didasarkan pada unsur fisis-alamiah yang berada di tempat bersangkutan.
Toponimi “Kali Songo” itu sendiri memiliki makna ekologis, yaitu aliran sungai-sungai kecil (kali) berjumlah sembilan (songo), selanjutnya berfusi menjadi sebuah batang sungai, yang dinamai “Kalisongo”. Masing-masing dari aliran sungai kecil itu berpangkal pada mata air (tuk), dengan persebaran relatif memusat di sekitar cekungan tanah berukuran besar dan dalam – kini dibendung dan difungsikan menjadi areal wisata ‘Taman Air Lembah Dieng’.
 
Lantaran memiliki cukup banyak mata air (sumber), maka dusun dimana Kali Songo itu ber-ada dinamai ‘Dusun Sumberrejo’. Salah sebuah kampung di Dusun Sumberrejo, yang karena kekhasannya dalam menggunakan pelita (cempluk) pada kurun waktu panjang (hingga awal tahun 1990-an) sebagai penerang di malam hari, maka mendapat julukan sebagai ‘Kampung Cempluk’. Nama ini mengisyaratkan tentang ‘kemiskinan’ warganya pada masa lampau yang hanya berpencahian sebagai petani tadah hujan.

Salah satu diantara lima dusun di Desa Kali Songo adalah Sumberrejo — lima dusun di Desa Kalisongo adalah: (1) Sumberrejo, (2) Kuci Sekarputih, (3) Lok Andeng Lor (Krajan), (3) Lok Andeng Kidul, dan (5) Kuso. Pusat pemerintahan desa berada di Dusun Lok Andeng Krajan, yang terletak di bagian paling barat desa, berbatasan dengan Desa Karang Widoro.

Toponiminya jelas memberi petunjuk akan adanya banyak (rejo) sumber air (tuk) di dusun ini, sebab sem-bilan tuk yang menjadi ‘titik mula’ dari sembilan buah sungai kecil itu memang berada di Dusun Sumberrejo. Selain sembilan sumber ini, di Desa Kali Songo masih terdapat sumber lain yang konon cukup besar debit airnya di Dusun Lok Andeng, yang merupakan sumber air tertinggi letaknya di wilayah Desa Kalisongo. Istilah “lok” dalam toponimi itu mengindikasi-kan suatu genangan air (lwah –> lwa –> lok).
Adapun unsur nama “andeng”, secara harafiah berarti panjang, luas (Zoetmulder, 1995:38). Belum jelas pohon apa yang dimaksud dengan yang berbatang panjang ini, kemungkinan termasuk rumpun bambu. Desa Kalisongo terletak di suatu area pada seberang barat aliran Kali Metro dan se-berang selatan Kalisongo pada lembah Gunung Kawi. Kali Metro itu sendiri bermata air di lerang sisi timur Gunung Panderman (anak Gunung kawi).

Bertetangga dan berseberangan sungai dengan Desa Kalisongo adalah Keluarahan Pisangcandi, yang berada dalam wilayah Kota Malang. Desa lain yang bertetangga dengan Kalisongo adalah Kelurahan Karangbesuki, yang juga masuk dalam wilayah Kota Malang. Menilik posisinya itu, Desa Kalisongo adalah desa di Kab. Malang yang berbatasan langsung dengan wilayah Kota Malang. Kendati ber-tetangga dekat, namun hingga tahun 1980-an, nuansa pedesaan (rural) pada Desa Kalingoso masih terbilang

Desa atau dusun yang memiliki unsur nama “lok” banyak didapati di Malang Raya, misalnya Lokdoro. Loksu-ruh, Lokjati, Lokmojo, dsb. Istlah ini adalah kependekan dari kata “lowok”, semisal pada nama Lowokwaru. Pada penamaan itu, terdapat pola: lok/lowok + nama pohon (tapak doro, suruh, jati, mojo, waru). Berdasarkan pola ini, unsur nama “andeng” dalam Lokandeng jelas merupakan nama pohon. Besar kemungkinan, pohon-pohon tersebut banyak tumbuh disekitar cekungan tanah yang tergenangi air (lok, lowok).

Unsur nama “Kejuron” dekat atau perubahan dari nama “Kanjuruhan”. Berdasarkan toponimi ini, besar ke-mungkinan ibukota (kadatwan) Kerajaan Kanjuruhan berada di Kejuron. Lokasi Kejuron dekat dengan Candi Badut, yang berdasarkan prasasti Dinoyo I atau Prasasti Kanjuruhan (760 M) merupakan bangunan suci dari masa pemerintahan Raja Gajayana. Wilayah Kejoron konon terbilang luas. Sisi timurnya hingga mencapai Du-sun Juwet Kulon, sehingga dusun ini lazim pula dinamai ‘Juwet Kejuron’.

B. Jejak Arkeologi, Historis dan Paleo-ekologis di Desa Kalisongo
Cukup alasan untuk menyatakan bahwa Desa Kalisongo adalah desa bersejarah. Bukti arkeologis, historis maupun paleo-ekologis kedapatan di desa ini. Salah satu tinggalan purbakala itu adalah reruntuhan candi yang berada di Punden Kalisongo Dusun Sumberrejo RI 1 RW 1, tepat di tepi pertigaan Jl. Dieng Atas.

Dalam keberadaannya sekarang, situs ini hanya menyisakan sebuah arca Nandi, sebuah Yoni, sebuah pedestal dari batu sima (?), sebuah pilar batu, sepotong balok batu berkronogram dan sebuah balik batu polos. Tinggalan arkeologis itu berada dalam cungkup bersahaja ukuran 1,5 X 2 m, dengan tinggi sekitar 2,5 m, yang dilindungi dengan pagar kayu setinggi 0,75 m. Keberadaannya di tepi jalan dan berhimpitan dengan areal rumah tinggal warga. Dilihat dari arah timur posisinya pada lerang atas dari permukaan tanah yang melereng ke arah Kali Metro/Kalisongo, yang letakn6ya sekitar 300 m) darinya. Paparan dari masing-masing artefak itu adalah sebagai berikut.

a.Sebuah arca Nandi dari batu
andesit dengan bagian kepala
rompal. Nandi adalah kendaraan
(wahana) Dewa Siwa yang
berwujud seekor lembu jantan.
 
b.Posisinya bersimpuh di atas
pedestal (P = 50 cm, L = 25
cm, Tebal = 10 cm). Kedati telah
tidak utuh, namun dapat
dipastikan merupakan lembu
jantan (Nandi), sebagai-mana
diindikatori oleh punuk – bagian
atas rompal, ekor dan kaki
sapi. Ukuran arca adalah sbb.:
P. Tubuh = 36 cm, T badan
dari pedestal = 28 cm dan L
badan = 22 cm.
 
c.Sebuah Yoni dari batu andesit,
yang bagian ceratnya telah
rompal. Jika lengkap, Yoni
berpasangan dengan Lingga,
yang ditancapkan ke dalam
lobang persegi di permukaan
atas Yoni. Namun, dalam
keberadaan sekarang, Yoni ini
telah tidak dilengkapi dengan
Lingga. Yoni adalah simbol
dari De wi Uma/Parwati, yakni
istri (sakti) dari Dewa Siwa,
yang disimbolkan sebagai
Lingga. Ukuran Yoni itu adalah
sbb. P X L X T = 40 X 40 X 58
cm, sisi lobang tancap
lingga 17 X 17 cm dengan
kedalam lobang 18cm.
Kendati ceratnya sudah rompal,
namun celah pada pelipit
di permukaan atas Yoni untuk
mengalirkan air suci (tirtha)
menuju ke cerat Yoni masih
tampak.
 
d.Sebuah pedestal dari bantu
andesit. Permukaan atas
dilengkapi dengan lobang bulat
untuk menancapkan sesuatu
yang berbentuk silindris. Belum
jelas benda apa yang ditancap
ke dalam lobang itu. Bisa bagian
bawah dari arca, atau bisa jadi
batu sima – lazimnya berbentuk
silindris. Adakemungkinan
pedestal ini dilengkapi dengan
cerat, serupa dengan yang
terdapat pada Yoni, namun kini
dalam kondisi telah rompal.
Selain itu pedestal dilengkapi
dengan pebingkaian atas dan
bawah, pilaster dan bingkai
pada batangnya. Ukuran
pedestal sebagai berikut P X L X
T = 48 X 42 X 44 cm, D lobang
berbingkai di permukaan atas
pedestal = 12 cm dengan
kedalaman = 14 cm.
 
e.Sebuah dari sepasang balok batu
andesit ber”kronogram (bertulis
angka tahun)”. Sayang sekali,
yang kini berhasil diketemukan
barulah sepotong dari semula
sepasang balok batu. Oleh sebab
itu digit angka tahun yang tertera
adalah: angka puluhan (angka 4)
dan satuan (anhka 3). Angka
ratusan dan ribuannya tercantum
pada balok batu pasangannya
yang belum diketmukan. Angka
ribuannya pastilah angka 1,
sedangkan angka ratusannya
ada bebrapa kemungkinan, yaitu:
0, 1, 2, 3 atau paling besar angka
Jika demikian, kemungkinannya
adalah: 1043 Saka (1121 M.),
1143 S. (1221 M.), 1343 S. (1321
M.) atau 1443 S. (1421 M.). Jadi,
prakiraan masanya adalah: Masa
Kadiri (1121 M. dan 1221 M.)
atau mungkin Masa Majapahit
(1321 M. atau 1421 M.). Ukuran
balok batu ini adalah P X L= 28 X
20 cm dan T = 18 cm.
 
f. Pilar batu dari bahan batu
andesit, yang belum jelas apa
fungsinya. Pilar batu dilengkapi
degan perbingkaian bawah
(terdiri atas: pelipit persegi
beragam hias dan pelipit sisi
genta) serta perbingkaian atas
yang berupa pelipit persegi,
ukuran sisi perbingkaian bawah
23 X 23 cm, tinggi total: 54 cm.
 
g. Sebuah balik batu dari bahan
batu andesit dengan ukuran
sisi 23 X 17 cm, dan T = 27 cm.
Kemungkinan merupakan salah
satu batuan candi yang tersisa.

Selain sumber data artefaktual terdapat sumber data tekstual berbentuk prasasti (epigrafi) yang ada kemungkinan memiliki kontribusi informasi bagi sejarah Desa Kalisongo, yaitu prasasti tembaga (tamtra-prasasti) Ukir Negara atau prasasti Pamotoh, yang bertarikh Saka 1120 (1198 M). Prasasti ini menginformasikan tentang pemberian anugerah tanah perdikan di suatu lembah oleh Raja Rsi Jigjaya kepada warga Pamotoh, dengan perantaraan Dyah Limpa, Dyah Mget, Dyah Duhet danDyah Tamani karena jasanya menjadi penjaga (tanggul) bagi bumi Panjalu.

Keempatnya memegang jabatan rakyan, sehingga memperoleh sebutan “rakryan patang juru”. Dyah Limpa berkedudukan di Gasek. Nama “Gasek” masih dikenal hingga kini, sebagai nama dusun di Kelurahan Karangbesuki. Selaini nformasi tersebut, prasasti Pamotoh juga menyebut 35 desa di timur G. Kawi yang mendapat tarikan pajak atas perintah dari Rakryan Kanuruhan. Salah satu diantaranya ada-lah Desa Palakan.

Cempluk 3Palakan adalah kata jadian, yang terbentuk dari kata dasar “lak” mendapat awalan “pa” dan akhuran “an:” pa-lak-an. Kata dasar “lak”, secara harafiah berarti dengan mulut terbuka. Kata “laklak” berarti tergeletak menganga. Kata “lak” juga dipakai untuk menyebut sejenis kayu, yaitu pohon lak (Coccuslacca), yang kayu (damarnya) dibakar sebagai keme-nyan. Vokal “A” di dalam bahasa Jawa Kuna berubah menjadi “Ö” di dalam bahasa Jawa Baru. Jika demikian, kata dasar “lak” dari “Palakan” berubah jadi “lÖk” dalam bahasa Jawa Baru.

Unsur nama ini hadir sebagai nama salah satu kampung di Desa Kalisongo, yakni Lok dengan tambahan unsur nama “Andeng” menjadi Lok Andeng. Di Dusun Lok Andeng terdapat Kampung Lok Sumber, dan tak jauh darinya terdapat cekungan tanah yang le-bar, yang bentuknya menyerupai “mulut terngga lebar”, di dalam mana terdapat gengangan air luas dari sejumlah mata air, termasuk air yang dipasok oleh Lok Sumber. Bisa jadi desa kuno Palakan yang disebut di dalam Prasasti Pamotoh, kini dinamai “Lowok Sumber” atau “Lok Andeng”, mengingat bahwa kata “andeng” itu sendiri juga berarti luas, seperti luasnya mu-lut ketika tertawa terbahak.

cempluk 5Identifikasi desa kuno Palakan dengan Lok Andeng atau Lowok Sumber cukup alasan dalam beberapa hal. Pertama, lokasinya tidak jauh dari desa-desa kuno Gasek, Paniwen (kini: Peniwen atau Niwen), Talun, Gadang, Sagenggeng (kini: Segenggeng). Desa-desa itu adalah beberapa dari sejumlah desa yang disebut oleh Prasasti Pamotoh.
Kedua, lokasinya di sub-area barat Malang, yang masuk dalam wilayah kekuasaan Rakryan Kanuruhan. Ketiga, terdapat jejak arkeologis dari Masa Hindu-Buddha, diantaranya adalah reruntuhan candi di Situs Kalisongo.

Jika benar demikian, berarti apa yang kini dinamai “Lok Andeng, atau Lowok Sumber” pada wilayah Desa Kalisongo telah ada pada tahun 1198 M, berarti pada masa akihir Kerajaan Kadiri – ketika Prasasti Pamotoh dituliskan. Dengan kata lain, daerah ini adalah daerah tua, yang telah ada sejak Masa Kadiri, dengan nama kunonya “Thani (Desa) Palakan”.

Reruntuhan candi di Punden Kalisongo adalah bukti yang tak terbantahkan akan ketuannya. Oleh karena Desa Kalisongo – dulu: Palakan — telah ada pada Masa Kadiri, maka sebagai warga yang agamis, di tempat ini didirikan tempat peribadatan dalam bentuk candi. Reruntuhan candi di Punden Kalisongo adalah tempat peribadatan itu, yang berlatar agama Hindu sekte Siwa.

Tinggalan yang berupa Yoni sebagai simbol sakti (istri) Dewa Siwa dan arca Nandi sebagai wahana Dewa Siwa adalah indikator kuat keberadaan agama Hindu sekte Siwa di situs sini. Jika menilik situs-situs lain di sekitarnya, seperti: Candi Badut, situs Gasek, situs watu Gong, situs Bakalan Krajan, situs Peniwen, dsb., cukup alasan untuk menya-takan bahwa pengaruh Hibdu-Siwa, dan khususnya Siwa Siddhanta, adalah dominan di DAS Metro pada Masa Hindu-Buddha.

C. Rekonstruksi Historis
Desa Kalisongo, termasuk di dalamnya Dusun Sumberrejo, adalah daerah yang bersejarah. Kesejarahan desa/dusun ini telah sangat panjang, melebihi yang dambarkan dalam tradisi lisan (oral story). Dalan tradisi lisan, Dusun Sumberrejo dikisahkan sebagai dibuka (di-babad) oleh buyut Kiyo, seorang tokoh yang menjalankan laku dari daerah Blitar, akhirnya menetap di Kalisongo serta menikah dengan perempuan asli Malang. Tokoh inilah yang dipercai sebagai “sing mbabat atau sing mbedah krawang” Dusun Sumberrejo. Tidak ada informasi pasti tentang bilamana eyang Kiyo tiba dan mulai menetap di Sumberrejo.

Namun, jika menilik makamnya bergaya makam muslim, tentulah beristiwa itu terjadi pasca Masa Hindu-Buddha, yakni setelah abad XVI M. Padahal, jika menilik temuan arkeologis yang ada, yang bisa diindikasikan sebagai peninggalan dari Masa Hindu-Buddha (antara abad XI-XV M), yang terang Sumberrejo dan sekitarnya telah merupakan permukiman atau ajang bagi kegi-atan sosial-budaya pada paro kedua milineum ke-2 Masehi. Dengan perkataan lain, sebelum kedatangan buyut Kiyo di Kalisongo telah terdapat kehidupan sosial-budaya daerah ini. Oleh kerena itu, penyebutan “sing mbabad” baginya mesti didudukkan secara proporsional.

Dusun Sumberrejo Ds. Kalisiongo konsisten untuk setiap tahun menyelenggarakan ritus “Bersih Dusun”. Acara demikian bukan baru kali pertama diseleng-garakan, melainkan menjadi agenda tahunan yang tidak tahu semenjak kapan dimulainya, Yang terang, telah bertahun-tahun kegiatan itu dilaksanakan oleh warga Dusun Sumberrejo. Ada yang dirasa “kurang” dan “aib” jika ritus ini ditinggalkan. Selain ritus Bersih Dusun, di Desa Kalisongo juga terdapat ritus Bersih Desa.

Dusun Sumberrejo melaksnakan ritusnya sendiri, karena lazimnya ritus yang demikian mendasarkan pada keberadaan punden di suatu tempat. Dusun Sumberrejo memiliki pundennya sendiri, yaitu Makam Mbah (Buyut) Kiyo, yang diyakni sebagai makam “tokoh yang membuka dusung (sing mbabat, sing mbedah krawang dusun), serta punden lain yang merupakan situs reruntuhan candi yang telah dipaparkan di atas.
Ritus Bersih Desa atau Bersih Dusun atau sebutan lain yang bersinonim arti seperti Mayu Deso, Sedekah Bumi, dsb adalah kehiatan yang berbasis di desa/dusun, yang memiliki makna kultural ataupun sosial. sayang sekali, karena pemahaman yang kurang dan sikap yang picik, ritus demikian acap dopandang sebagai kegiatan musyik dari kacamata suatu agama, sehingga ditentang dan bahkan ditiadakan penyelenggaraannya.
(Sumber akun facebook Dwi Cahyono).