Ritual Budaya di Desa Kalisongo Malang Jatim / sumber foto akun facebook Dwi Cahyono |
Oleh : Dwi Cahyono
(Arkeolog & Dosen UM)
A. Aspek Lingkungan
Desa Kalisongo
di Kecamatan Dau Kabupaten Malang merupakan salah sebuah desa yang
berada di DAS Hulu Kali Metro. Apabila desa-desa yang berada di DAS Kali
Metro dinamai ‘Metro pradesa’, maka Desa Kalisongo adalah desa
bersejarah yang berada dalam konteks Metropradesa tersebut. Pada desa
ini, Kali Metro mendapat pasokan air yang singnifikan dari Kalisongo,
yaitu suatu sungai yang bermata air di sembilan (songo) mata air (tuk).
Oleh sebab itu bisa difahami bila pasca pertemuan (tempuran) Kali Songo
dan Kali Gasek (sebutan bagi ruas Kali Metro sebelum bertemu dengan Kali
Songo) debit air dan lebar batang sungai dari Kali Metro terlihat
mengalami peningkatan.
Lingkungan fisis-alamiah dan sosial-budaya
Desa Kalisongo dengan demikian tak bisa dipisah dari konteks ekologis
Kali Metro. Kalisongo yang mengalir di Dusun Sumber-rejo dapat pula
dinyatakan sebagai anak sungai dari Kali Metro. Dari sudut pandang
sejarah, Kali Metro adalah salah sutu sungai di kawasan Malangraya, yang
pada Masa Hindu-Buddha diyakini sebagai sungai suci, lantaran mata air
(tuk)-nya berada di lereng timur Bukit Panderman, yakni anak Gunung Kawi
yang konon (masa Hindu-Buddha) juga diyakini sebagai gunung suci (holly
mountain). Kali Metro dari masa ke masa dalam perjalanan panjang
sejarah Malang menjadi unsur fisis-alamiah yang turut serta membentuk
peradaban yang membentang di sebelah timur (sakarida) Gunung Kawi, yang
kini termasuk dalam wilayah ‘Malang Raya’.
Cempluk Terkait
dengan Gunung Kawi, Desa Kalisongo dapat juga dinyatakan sebagai berada
di lembah timur Gunung Kawi.
Sebagai daerah yang berada di lembah
gunung, topografisnya tidak rata dan air tanah berada pada kedalam 15 m
atau lebih dari permukaan tanah. Oleh karena itu, dalam kurun waktu yang
amat lama (hingga 1980-an), warga sekitar tidak banyak yang memiliki
sumur, alih-alih mereka menggantungkan pemenuhan akan air bersih dari
Kalisongo. Mandi, mencuci, ngangsu air untuk kebuthan rumah-tangga,
bahkan memandikan bayi yang baru lahir dan ketika memasuki usia tujuh
bulan (mitoni), dsb. pun dilakukan di Kalisongo. Lantaran itu, maka desa
ini dinamai dengan ‘Desa Kali Songo’. Adalah suatu kelaziman bahwa nama
suatu tempat didasarkan pada unsur fisis-alamiah yang berada di tempat
bersangkutan.
Toponimi “Kali Songo” itu sendiri memiliki makna
ekologis, yaitu aliran sungai-sungai kecil (kali) berjumlah sembilan
(songo), selanjutnya berfusi menjadi sebuah batang sungai, yang dinamai
“Kalisongo”. Masing-masing dari aliran sungai kecil itu berpangkal pada
mata air (tuk), dengan persebaran relatif memusat di sekitar cekungan
tanah berukuran besar dan dalam – kini dibendung dan difungsikan menjadi
areal wisata ‘Taman Air Lembah Dieng’.
Lantaran memiliki cukup
banyak mata air (sumber), maka dusun dimana Kali Songo itu ber-ada
dinamai ‘Dusun Sumberrejo’. Salah sebuah kampung di Dusun Sumberrejo,
yang karena kekhasannya dalam menggunakan pelita (cempluk) pada kurun
waktu panjang (hingga awal tahun 1990-an) sebagai penerang di malam
hari, maka mendapat julukan sebagai ‘Kampung Cempluk’. Nama ini
mengisyaratkan tentang ‘kemiskinan’ warganya pada masa lampau yang hanya
berpencahian sebagai petani tadah hujan.
Salah satu diantara
lima dusun di Desa Kali Songo adalah Sumberrejo — lima dusun di Desa
Kalisongo adalah: (1) Sumberrejo, (2) Kuci Sekarputih, (3) Lok Andeng
Lor (Krajan), (3) Lok Andeng Kidul, dan (5) Kuso. Pusat pemerintahan
desa berada di Dusun Lok Andeng Krajan, yang terletak di bagian paling
barat desa, berbatasan dengan Desa Karang Widoro.
Toponiminya
jelas memberi petunjuk akan adanya banyak (rejo) sumber air (tuk) di
dusun ini, sebab sem-bilan tuk yang menjadi ‘titik mula’ dari sembilan
buah sungai kecil itu memang berada di Dusun Sumberrejo. Selain sembilan
sumber ini, di Desa Kali Songo masih terdapat sumber lain yang konon
cukup besar debit airnya di Dusun Lok Andeng, yang merupakan sumber air
tertinggi letaknya di wilayah Desa Kalisongo. Istilah “lok” dalam
toponimi itu mengindikasi-kan suatu genangan air (lwah –> lwa –>
lok).
Adapun unsur nama “andeng”, secara harafiah berarti
panjang, luas (Zoetmulder, 1995:38). Belum jelas pohon apa yang dimaksud
dengan yang berbatang panjang ini, kemungkinan termasuk rumpun bambu.
Desa Kalisongo terletak di suatu area pada seberang barat aliran Kali
Metro dan se-berang selatan Kalisongo pada lembah Gunung Kawi. Kali
Metro itu sendiri bermata air di lerang sisi timur Gunung Panderman
(anak Gunung kawi).
Bertetangga dan berseberangan sungai dengan
Desa Kalisongo adalah Keluarahan Pisangcandi, yang berada dalam wilayah
Kota Malang. Desa lain yang bertetangga dengan Kalisongo adalah
Kelurahan Karangbesuki, yang juga masuk dalam wilayah Kota Malang.
Menilik posisinya itu, Desa Kalisongo adalah desa di Kab. Malang yang
berbatasan langsung dengan wilayah Kota Malang. Kendati ber-tetangga
dekat, namun hingga tahun 1980-an, nuansa pedesaan (rural) pada Desa
Kalingoso masih terbilang
Desa atau dusun yang memiliki unsur
nama “lok” banyak didapati di Malang Raya, misalnya Lokdoro. Loksu-ruh,
Lokjati, Lokmojo, dsb. Istlah ini adalah kependekan dari kata “lowok”,
semisal pada nama Lowokwaru. Pada penamaan itu, terdapat pola: lok/lowok
+ nama pohon (tapak doro, suruh, jati, mojo, waru). Berdasarkan pola
ini, unsur nama “andeng” dalam Lokandeng jelas merupakan nama pohon.
Besar kemungkinan, pohon-pohon tersebut banyak tumbuh disekitar cekungan
tanah yang tergenangi air (lok, lowok).
Unsur nama “Kejuron”
dekat atau perubahan dari nama “Kanjuruhan”. Berdasarkan toponimi ini,
besar ke-mungkinan ibukota (kadatwan) Kerajaan Kanjuruhan berada di
Kejuron. Lokasi Kejuron dekat dengan Candi Badut, yang berdasarkan
prasasti Dinoyo I atau Prasasti Kanjuruhan (760 M) merupakan bangunan
suci dari masa pemerintahan Raja Gajayana. Wilayah Kejoron konon
terbilang luas. Sisi timurnya hingga mencapai Du-sun Juwet Kulon,
sehingga dusun ini lazim pula dinamai ‘Juwet Kejuron’.
B. Jejak Arkeologi, Historis dan Paleo-ekologis di Desa Kalisongo
Cukup alasan untuk menyatakan bahwa Desa Kalisongo adalah desa
bersejarah. Bukti arkeologis, historis maupun paleo-ekologis kedapatan
di desa ini. Salah satu tinggalan purbakala itu adalah reruntuhan candi
yang berada di Punden Kalisongo Dusun Sumberrejo RI 1 RW 1, tepat di
tepi pertigaan Jl. Dieng Atas.
Dalam keberadaannya sekarang,
situs ini hanya menyisakan sebuah arca Nandi, sebuah Yoni, sebuah
pedestal dari batu sima (?), sebuah pilar batu, sepotong balok batu
berkronogram dan sebuah balik batu polos. Tinggalan arkeologis itu
berada dalam cungkup bersahaja ukuran 1,5 X 2 m, dengan tinggi sekitar
2,5 m, yang dilindungi dengan pagar kayu setinggi 0,75 m. Keberadaannya
di tepi jalan dan berhimpitan dengan areal rumah tinggal warga. Dilihat
dari arah timur posisinya pada lerang atas dari permukaan tanah yang
melereng ke arah Kali Metro/Kalisongo, yang letakn6ya sekitar 300 m)
darinya. Paparan dari masing-masing artefak itu adalah sebagai berikut.
a.Sebuah arca Nandi dari batu
andesit dengan bagian kepala
rompal. Nandi adalah kendaraan
(wahana) Dewa Siwa yang
berwujud seekor lembu jantan.
andesit dengan bagian kepala
rompal. Nandi adalah kendaraan
(wahana) Dewa Siwa yang
berwujud seekor lembu jantan.
b.Posisinya bersimpuh di atas
pedestal (P = 50 cm, L = 25
cm, Tebal = 10 cm). Kedati telah
tidak utuh, namun dapat
dipastikan merupakan lembu
jantan (Nandi), sebagai-mana
diindikatori oleh punuk – bagian
atas rompal, ekor dan kaki
sapi. Ukuran arca adalah sbb.:
P. Tubuh = 36 cm, T badan
dari pedestal = 28 cm dan L
badan = 22 cm.
pedestal (P = 50 cm, L = 25
cm, Tebal = 10 cm). Kedati telah
tidak utuh, namun dapat
dipastikan merupakan lembu
jantan (Nandi), sebagai-mana
diindikatori oleh punuk – bagian
atas rompal, ekor dan kaki
sapi. Ukuran arca adalah sbb.:
P. Tubuh = 36 cm, T badan
dari pedestal = 28 cm dan L
badan = 22 cm.
c.Sebuah Yoni dari batu andesit,
yang bagian ceratnya telah
rompal. Jika lengkap, Yoni
berpasangan dengan Lingga,
yang ditancapkan ke dalam
lobang persegi di permukaan
atas Yoni. Namun, dalam
keberadaan sekarang, Yoni ini
telah tidak dilengkapi dengan
Lingga. Yoni adalah simbol
dari De wi Uma/Parwati, yakni
istri (sakti) dari Dewa Siwa,
yang disimbolkan sebagai
Lingga. Ukuran Yoni itu adalah
sbb. P X L X T = 40 X 40 X 58
cm, sisi lobang tancap
lingga 17 X 17 cm dengan
kedalam lobang 18cm.
Kendati ceratnya sudah rompal,
namun celah pada pelipit
di permukaan atas Yoni untuk
mengalirkan air suci (tirtha)
menuju ke cerat Yoni masih
tampak.
yang bagian ceratnya telah
rompal. Jika lengkap, Yoni
berpasangan dengan Lingga,
yang ditancapkan ke dalam
lobang persegi di permukaan
atas Yoni. Namun, dalam
keberadaan sekarang, Yoni ini
telah tidak dilengkapi dengan
Lingga. Yoni adalah simbol
dari De wi Uma/Parwati, yakni
istri (sakti) dari Dewa Siwa,
yang disimbolkan sebagai
Lingga. Ukuran Yoni itu adalah
sbb. P X L X T = 40 X 40 X 58
cm, sisi lobang tancap
lingga 17 X 17 cm dengan
kedalam lobang 18cm.
Kendati ceratnya sudah rompal,
namun celah pada pelipit
di permukaan atas Yoni untuk
mengalirkan air suci (tirtha)
menuju ke cerat Yoni masih
tampak.
d.Sebuah pedestal dari bantu
andesit. Permukaan atas
dilengkapi dengan lobang bulat
untuk menancapkan sesuatu
yang berbentuk silindris. Belum
jelas benda apa yang ditancap
ke dalam lobang itu. Bisa bagian
bawah dari arca, atau bisa jadi
batu sima – lazimnya berbentuk
silindris. Adakemungkinan
pedestal ini dilengkapi dengan
cerat, serupa dengan yang
terdapat pada Yoni, namun kini
dalam kondisi telah rompal.
Selain itu pedestal dilengkapi
dengan pebingkaian atas dan
bawah, pilaster dan bingkai
pada batangnya. Ukuran
pedestal sebagai berikut P X L X
T = 48 X 42 X 44 cm, D lobang
berbingkai di permukaan atas
pedestal = 12 cm dengan
kedalaman = 14 cm.
andesit. Permukaan atas
dilengkapi dengan lobang bulat
untuk menancapkan sesuatu
yang berbentuk silindris. Belum
jelas benda apa yang ditancap
ke dalam lobang itu. Bisa bagian
bawah dari arca, atau bisa jadi
batu sima – lazimnya berbentuk
silindris. Adakemungkinan
pedestal ini dilengkapi dengan
cerat, serupa dengan yang
terdapat pada Yoni, namun kini
dalam kondisi telah rompal.
Selain itu pedestal dilengkapi
dengan pebingkaian atas dan
bawah, pilaster dan bingkai
pada batangnya. Ukuran
pedestal sebagai berikut P X L X
T = 48 X 42 X 44 cm, D lobang
berbingkai di permukaan atas
pedestal = 12 cm dengan
kedalaman = 14 cm.
e.Sebuah dari sepasang balok batu
andesit ber”kronogram (bertulis
angka tahun)”. Sayang sekali,
yang kini berhasil diketemukan
barulah sepotong dari semula
sepasang balok batu. Oleh sebab
itu digit angka tahun yang tertera
adalah: angka puluhan (angka 4)
dan satuan (anhka 3). Angka
ratusan dan ribuannya tercantum
pada balok batu pasangannya
yang belum diketmukan. Angka
ribuannya pastilah angka 1,
sedangkan angka ratusannya
ada bebrapa kemungkinan, yaitu:
0, 1, 2, 3 atau paling besar angka
Jika demikian, kemungkinannya
adalah: 1043 Saka (1121 M.),
1143 S. (1221 M.), 1343 S. (1321
M.) atau 1443 S. (1421 M.). Jadi,
prakiraan masanya adalah: Masa
Kadiri (1121 M. dan 1221 M.)
atau mungkin Masa Majapahit
(1321 M. atau 1421 M.). Ukuran
balok batu ini adalah P X L= 28 X
20 cm dan T = 18 cm.
andesit ber”kronogram (bertulis
angka tahun)”. Sayang sekali,
yang kini berhasil diketemukan
barulah sepotong dari semula
sepasang balok batu. Oleh sebab
itu digit angka tahun yang tertera
adalah: angka puluhan (angka 4)
dan satuan (anhka 3). Angka
ratusan dan ribuannya tercantum
pada balok batu pasangannya
yang belum diketmukan. Angka
ribuannya pastilah angka 1,
sedangkan angka ratusannya
ada bebrapa kemungkinan, yaitu:
0, 1, 2, 3 atau paling besar angka
Jika demikian, kemungkinannya
adalah: 1043 Saka (1121 M.),
1143 S. (1221 M.), 1343 S. (1321
M.) atau 1443 S. (1421 M.). Jadi,
prakiraan masanya adalah: Masa
Kadiri (1121 M. dan 1221 M.)
atau mungkin Masa Majapahit
(1321 M. atau 1421 M.). Ukuran
balok batu ini adalah P X L= 28 X
20 cm dan T = 18 cm.
f. Pilar batu dari bahan batu
andesit, yang belum jelas apa
fungsinya. Pilar batu dilengkapi
degan perbingkaian bawah
(terdiri atas: pelipit persegi
beragam hias dan pelipit sisi
genta) serta perbingkaian atas
yang berupa pelipit persegi,
ukuran sisi perbingkaian bawah
23 X 23 cm, tinggi total: 54 cm.
andesit, yang belum jelas apa
fungsinya. Pilar batu dilengkapi
degan perbingkaian bawah
(terdiri atas: pelipit persegi
beragam hias dan pelipit sisi
genta) serta perbingkaian atas
yang berupa pelipit persegi,
ukuran sisi perbingkaian bawah
23 X 23 cm, tinggi total: 54 cm.
g. Sebuah balik batu dari bahan
batu andesit dengan ukuran
sisi 23 X 17 cm, dan T = 27 cm.
Kemungkinan merupakan salah
satu batuan candi yang tersisa.
batu andesit dengan ukuran
sisi 23 X 17 cm, dan T = 27 cm.
Kemungkinan merupakan salah
satu batuan candi yang tersisa.
Selain sumber data artefaktual terdapat sumber data tekstual berbentuk
prasasti (epigrafi) yang ada kemungkinan memiliki kontribusi informasi
bagi sejarah Desa Kalisongo, yaitu prasasti tembaga (tamtra-prasasti)
Ukir Negara atau prasasti Pamotoh, yang bertarikh Saka 1120 (1198 M).
Prasasti ini menginformasikan tentang pemberian anugerah tanah perdikan
di suatu lembah oleh Raja Rsi Jigjaya kepada warga Pamotoh, dengan
perantaraan Dyah Limpa, Dyah Mget, Dyah Duhet danDyah Tamani karena
jasanya menjadi penjaga (tanggul) bagi bumi Panjalu.
Keempatnya
memegang jabatan rakyan, sehingga memperoleh sebutan “rakryan patang
juru”. Dyah Limpa berkedudukan di Gasek. Nama “Gasek” masih dikenal
hingga kini, sebagai nama dusun di Kelurahan Karangbesuki. Selaini
nformasi tersebut, prasasti Pamotoh juga menyebut 35 desa di timur G.
Kawi yang mendapat tarikan pajak atas perintah dari Rakryan Kanuruhan.
Salah satu diantaranya ada-lah Desa Palakan.
Cempluk 3Palakan
adalah kata jadian, yang terbentuk dari kata dasar “lak” mendapat awalan
“pa” dan akhuran “an:” pa-lak-an. Kata dasar “lak”, secara harafiah
berarti dengan mulut terbuka. Kata “laklak” berarti tergeletak menganga.
Kata “lak” juga dipakai untuk menyebut sejenis kayu, yaitu pohon lak
(Coccuslacca), yang kayu (damarnya) dibakar sebagai keme-nyan. Vokal “A”
di dalam bahasa Jawa Kuna berubah menjadi “Ö” di dalam bahasa Jawa
Baru. Jika demikian, kata dasar “lak” dari “Palakan” berubah jadi “lÖk”
dalam bahasa Jawa Baru.
Unsur nama ini hadir sebagai nama salah
satu kampung di Desa Kalisongo, yakni Lok dengan tambahan unsur nama
“Andeng” menjadi Lok Andeng. Di Dusun Lok Andeng terdapat Kampung Lok
Sumber, dan tak jauh darinya terdapat cekungan tanah yang le-bar, yang
bentuknya menyerupai “mulut terngga lebar”, di dalam mana terdapat
gengangan air luas dari sejumlah mata air, termasuk air yang dipasok
oleh Lok Sumber. Bisa jadi desa kuno Palakan yang disebut di dalam
Prasasti Pamotoh, kini dinamai “Lowok Sumber” atau “Lok Andeng”,
mengingat bahwa kata “andeng” itu sendiri juga berarti luas, seperti
luasnya mu-lut ketika tertawa terbahak.
cempluk 5Identifikasi
desa kuno Palakan dengan Lok Andeng atau Lowok Sumber cukup alasan dalam
beberapa hal. Pertama, lokasinya tidak jauh dari desa-desa kuno Gasek,
Paniwen (kini: Peniwen atau Niwen), Talun, Gadang, Sagenggeng (kini:
Segenggeng). Desa-desa itu adalah beberapa dari sejumlah desa yang
disebut oleh Prasasti Pamotoh.
Kedua, lokasinya di sub-area barat
Malang, yang masuk dalam wilayah kekuasaan Rakryan Kanuruhan. Ketiga,
terdapat jejak arkeologis dari Masa Hindu-Buddha, diantaranya adalah
reruntuhan candi di Situs Kalisongo.
Jika benar demikian, berarti
apa yang kini dinamai “Lok Andeng, atau Lowok Sumber” pada wilayah Desa
Kalisongo telah ada pada tahun 1198 M, berarti pada masa akihir
Kerajaan Kadiri – ketika Prasasti Pamotoh dituliskan. Dengan kata lain,
daerah ini adalah daerah tua, yang telah ada sejak Masa Kadiri, dengan
nama kunonya “Thani (Desa) Palakan”.
Reruntuhan candi di Punden
Kalisongo adalah bukti yang tak terbantahkan akan ketuannya. Oleh karena
Desa Kalisongo – dulu: Palakan — telah ada pada Masa Kadiri, maka
sebagai warga yang agamis, di tempat ini didirikan tempat peribadatan
dalam bentuk candi. Reruntuhan candi di Punden Kalisongo adalah tempat
peribadatan itu, yang berlatar agama Hindu sekte Siwa.
Tinggalan
yang berupa Yoni sebagai simbol sakti (istri) Dewa Siwa dan arca Nandi
sebagai wahana Dewa Siwa adalah indikator kuat keberadaan agama Hindu
sekte Siwa di situs sini. Jika menilik situs-situs lain di sekitarnya,
seperti: Candi Badut, situs Gasek, situs watu Gong, situs Bakalan
Krajan, situs Peniwen, dsb., cukup alasan untuk menya-takan bahwa
pengaruh Hibdu-Siwa, dan khususnya Siwa Siddhanta, adalah dominan di DAS
Metro pada Masa Hindu-Buddha.
C. Rekonstruksi Historis
Desa Kalisongo, termasuk di dalamnya Dusun Sumberrejo, adalah daerah
yang bersejarah. Kesejarahan desa/dusun ini telah sangat panjang,
melebihi yang dambarkan dalam tradisi lisan (oral story). Dalan tradisi
lisan, Dusun Sumberrejo dikisahkan sebagai dibuka (di-babad) oleh buyut
Kiyo, seorang tokoh yang menjalankan laku dari daerah Blitar, akhirnya
menetap di Kalisongo serta menikah dengan perempuan asli Malang. Tokoh
inilah yang dipercai sebagai “sing mbabat atau sing mbedah krawang”
Dusun Sumberrejo. Tidak ada informasi pasti tentang bilamana eyang Kiyo
tiba dan mulai menetap di Sumberrejo.
Namun, jika menilik
makamnya bergaya makam muslim, tentulah beristiwa itu terjadi pasca Masa
Hindu-Buddha, yakni setelah abad XVI M. Padahal, jika menilik temuan
arkeologis yang ada, yang bisa diindikasikan sebagai peninggalan dari
Masa Hindu-Buddha (antara abad XI-XV M), yang terang Sumberrejo dan
sekitarnya telah merupakan permukiman atau ajang bagi kegi-atan
sosial-budaya pada paro kedua milineum ke-2 Masehi. Dengan perkataan
lain, sebelum kedatangan buyut Kiyo di Kalisongo telah terdapat
kehidupan sosial-budaya daerah ini. Oleh kerena itu, penyebutan “sing
mbabad” baginya mesti didudukkan secara proporsional.
Dusun
Sumberrejo Ds. Kalisiongo konsisten untuk setiap tahun menyelenggarakan
ritus “Bersih Dusun”. Acara demikian bukan baru kali pertama
diseleng-garakan, melainkan menjadi agenda tahunan yang tidak tahu
semenjak kapan dimulainya, Yang terang, telah bertahun-tahun kegiatan
itu dilaksanakan oleh warga Dusun Sumberrejo. Ada yang dirasa “kurang”
dan “aib” jika ritus ini ditinggalkan. Selain ritus Bersih Dusun, di
Desa Kalisongo juga terdapat ritus Bersih Desa.
Dusun Sumberrejo
melaksnakan ritusnya sendiri, karena lazimnya ritus yang demikian
mendasarkan pada keberadaan punden di suatu tempat. Dusun Sumberrejo
memiliki pundennya sendiri, yaitu Makam Mbah (Buyut) Kiyo, yang diyakni
sebagai makam “tokoh yang membuka dusung (sing mbabat, sing mbedah
krawang dusun), serta punden lain yang merupakan situs reruntuhan candi
yang telah dipaparkan di atas.
Ritus Bersih Desa atau Bersih
Dusun atau sebutan lain yang bersinonim arti seperti Mayu Deso, Sedekah
Bumi, dsb adalah kehiatan yang berbasis di desa/dusun, yang memiliki
makna kultural ataupun sosial. sayang sekali, karena pemahaman yang
kurang dan sikap yang picik, ritus demikian acap dopandang sebagai
kegiatan musyik dari kacamata suatu agama, sehingga ditentang dan bahkan
ditiadakan penyelenggaraannya.
(Sumber akun facebook Dwi Cahyono).