Seperti ide Kayutangan Heritage, kenapa banyak orang ingin meniru Malioboro?

"Dalam hal sejarah, seni-tradisi dan kuliner, Yogya memang istimewa. Tapi Malang juga istimewa"

JurnalMalang - Dalam hal wisata budaya, banyak daerah terobsesi ingin seperti Malioboro Yogyakarta. Para pejabatnya bisa dengan yakin menyatakan Malioboro merupakan rujukan yang istimewa. 

Di Kota Malang juga, ada program yang sedang berjalan. Akan menjadikan kawasan Kayutangan Heritage serupa Malioboro. Ramai diberitakan di media-media nasional. 

Serupa dalam hal apa? Belum jelas.

Malioboro, sejak lama sudah menjadi wisata kultural "oplosan". Tidak semua bangunan sepanjang Malioboro mencerminkan tradisi Yogya. Demikian pula dengan barang-barang yang dijual di dalamnya. Harga makanan di jalan Malioboro pernah membuat banyak pengunjung geram dan viral di medsos.

Sektor ekonomi yang berkembang di sekitarnya lebih kontra-kultural lagi, ada cafe-cafe berminol di Sosrowijayan, karaokean yang menjamur di Sarkem. Wisatawan yang paham Yogya tahu apa lagi yang ada di sekitar kawasan yang hanya selemparan batu dari Malioboro tersebut.

Malioboro sangat padat pengunjung, kadang over kapasitas. Untung, ruas jalannya lebih luas dari jalan di Kayutangan Malang dan ketersediaan lahan parkir ditunjang oleh fasilitas parkir hotel-hotel.

Malang Heritage di kawasan Kayutangan ingin meniru Malioboro Yogya dalam hal apa? 

#Apakah luas ruas jalan sepanjang kawasan Kayutangan memenuhi syarat untuk menampung ribuan wisatawan harian?

#Apakah kondisi jalan di sekitar area Kayutangan (jln Kawi, AR.Hakim, JA.Suprapto, Oro oro dowo, Balkot, dst) dapat direkayasa untuk mengatasi kemacetan lantas akibat pembatasan kendaraan yang melewati Kayutangan? 

#Dimana lahan parkir kendaraan pengunjung?

Masih banyak pertanyaan yang relevan diajukan pada penggagas 'Kayutangan heritage serupa Malioboro Yogya'.

Yogya memang istimewa, tapi Malang lebih istimewa dalam banyak aspek. Dari aspek sejarah, Malang memiliki peradaban lampau yang jauh lebih tua dari Keraton Mataram baru yang kini menjadi ikon budaya Yogya. Bahkan Malang patut bangga karena para tokoh pendiri imperium Majapahit merupakan arek-arek Ngalam seperti Raden Wijaya, Anabrang, Lembusora, Nambi dst.

Malang modern juga sangat dikenal sebagai kota sepakbola dengan Aremania nya yang amat kreatif, solid dan militan. Potensi seperti ini cukup ikonik, sayangnya belum dieksplore secara maksimal dalam kebijakan pariwisata pemda.

Citra Malang tempo dulu (era kolonial) memang masih ada di beberapa bangunan di Kayutangan. Namun itu tidak kuat dijadikan sandaran untuk membangun kawasan heritage seperti Malioboro. Citra Malang tempo dulu bukan lah seni arsitektur Belanda, juga bukan hanya pada era 1800 an. Malang telah dikenal beradab tinggi sejak abad 7 masehi.

Pemkot harus mengkaji ulang rencananya menyulap kawasan kayutangan seperti Malioboro. Harus dilakukan studi analisa yang lebih mendalam dengan melibatkan para pakar lintas ilmu dan juga praktisi wisata yang berpengalaman, bukan yang mengaku-ngaku ahli tapi sebenarnya pakar 'kaleng-kaleng'.

Program pengembangan kawasan Kayutangan Kota Malang masih berjalan hingga saat ini. Taman bunga pembatas tengah jalan sudah dibongkar dan beberapa titik jalan, aspal sudah digantikan dengan tempelan kramik batu-andesit.

Sebagaimana dilansir kumparan, Kayutangan Heritage merupakan inisiasi penataan ruang kota dari Kementerian PUPR melalui program Kotaku (Program Pengentasan Kota Tanpa Kumuh).

Konsepnya, penataan akan mengadopsi konsep City Walk di Malioboro di Yogyakarta atau Jalan Braga di Bandung.

Konsep penataan ini bahkan sudah digagas sejak sekitar tahun 2018 silam. Total anggaran dikucurkan kurang lebih Rp 34 miliar yang berasal dari 3 sumber dana. Sebut saja Dana Alokasi Khusus (DAK) Rp 16 miliar, Dana Bantuan Pusat Program Kotaku dari Kemen PUPR Rp 10 miliar, dan sisanya Rp 8 miliar dari APBD Kota Malang. **

(Catatan Redaksi).