Membaca Peluang Bacalon Walikota Konvensi DPC PDIP Kota Malang

Ilustrasi / kompasiana
JurnalMalang - Menjelang fit and propertest di DPD dan DPP, para peserta penjaringan bacalon Kepala Daerah melalui PDIP kota Malang tengah melengkapi beberapa syarat administrasi seperti Visi / Misi dan pernyataan kesiapan dalam bertarung merebut kepemimpinan kota Malang 2018 mendatang. Ini mengindikasikan bahwa banteng menepis peluang koalisi untuk mengambil N-2.

Pada saat PDIP mematangkan persiapan menuju turunnya rekomendasi DPP, maka potensi para kandidat Walikota harus dikaji dan diperhitungkan secara cermat, baik oleh panitia DPC, DPD, DPP dan masyarakat pemilih. Ada 4 bakal calon yang resmi mengikuti penjaringan bacalon Walikota melalui DPC, yang menurut kalkulasi mereka sama-sama memiliki peluang.

1. Arief Wicaksono.
Adalah Ketua DPC PDI Perjuangan kota Malang yang juga menjadi Ketua DPRD kota Malang. Keuntungan bagi Arief adalah dia struktural banteng yang setiap saat berinteraksi langsung dengan kader dan PDIP di Malang. Selain itu Arief berhasil mendapatkan legitimasi/dukungan mayoritas struktural ranting, PAC dan Pengurus DPC sendiri. Secara formal Arief paling berkompeten dalam mengantongi rekom DPP.

Namun ada beberapa syarat penting yang membebani Arief dalam merebut rekom : dia adalah petugas partai yang sudah memikul amanah sebagai Ketua DPRD. Sebagai bagian dari Muspida Arief memiliki tangungjawabb besar dalam mengawasi pembangunan kota Malang dan membawa aspirasi basis banteng. Jika Airef gagal meyakinkan pusat bahwa dirinya sanggup mengemban amanat yang lebih tinggi dengan legitimasi intern yang solid, maka Arief lebih baik fokus pada posisi strategisnya sekarang ketimbang berspekulasi menghadapi incumbent. Kedua dia harus dipastikan tidak memiliki beban masalah di legislatif terutama yang menyangkut persoalan hukum. 

2. Sutiaji.
Merupakan Wakil Walikota saat ini, memiliki latar belakang santri NU. Sutiaji termasuk tokoh dari kalangan santri yang berpikiran terbuka, memiliki pergaulan yang luas di kalangan nasionalis dan cukup berhasil mencitrakan diri sebagai elit yang rendah hati. Minimnya dukungan dari struktural NU justru memungkinkan bagi Sutiaji untuk mendapat simpati di basis Nahdliyin non struktural dengan alasan Sutiaji tidak ingin membawa organisasi ke ranah politik. Jika PDIP maju sendiri mengusung paslon hasil penjaringan maka pasangan Arief - Sutiaji (atau sebaliknya) bisa terjadi.

Kelemahannya adalah dia bukan kader dan belum ada statement resmi dirinya siap menjadi kader banteng apabila direkom PDIP.

3. Gandung Rafiul Nurul Huda.
Adalah tokoh muda yang dibesarkan dari organisasi nasionalis (GMNI). Gandung sudah mengenal karakter banteng sejak masih kuliah sehingga segala hal yang menyangkut PDIP sudah tidak asing lagi baginya. Di antara kandidat lain, Gandung paling memiliki keakraban ideologis dengan banteng karena dirinya fasih dalam memahami ajaran Marhaenisme dan pernah lama aktif dalam kegiatan RepDem yang merupakan underbow PDIP. Pengurus Pusat IKA UB ini juga berhasil meyakinkan banyak senior organisasinya bahwa dirinya serius bergabung dalam misi suksesi PDIP kota Malang.

Kelemahan Gandung adalah, secara formal bukan kader partai dan memerlukan waktu yang cukup untuk bersosialisasi dengan basis PDIP kota Malang.

4. Wahyu Eko Setiawan (WES).
Dalam kaitannya dengan meraih rekom DPP, mantan aktifis mahasiswa ini nekad melakukan "long march" jalan kaki dengan rute Malang - Jakarta. Saat tulisan ini dibuat WES sudah sampai di Tegal. Ada banyak kisah dan cerita sepanjang perjalanannya yang menempuh kurang lebih 1.000 kilometer. Berdasarkan stetmen media, WES melakukan perjalanan ini untuk mendapatkan rekom DPP PDIP sebagai calon Walikota Malang.

Pada satu sisi WES berhasil mendapatkan tempat dipublikasi media massa lokal dan medsos, banyak menjadi bahan pembicaraan dan pasti mendapatkan simpati moral dan politik. Namun pada sisi lain, pola yang dilakukan WES tidak biasa dan keluar dari unsur kelaziman politik pilkada. Umumnya jalan kaki jarak jauh dilakukan oleh simpatisan/kader banteng grassroot pada era-era awal pasca reformasi, sebagai wujud militansi kader. Dan kini WES melakukan hal yang identik, dengan konteks Pilwali kota Malang.

Jika WES melakukan jalan kaki panjang Malang - Jakarta dengan konteks meminta rekom DPP maka besar kemungkinan akan terhalang oleh protap dan aturan internal PDIP dalam Keputusan Rekom Kepala Daerah. Pertimbangan Standar turunnya rekom Parpol adalah : hasil survey, potensi calon dan lobi-lobi. Long March tidak termasuk di dalamnnya. Andaipun DPP menanggapinya dengan ramah secara simbolik belum tentu di terima dalam restu. 

Namun jika dalam petualangan WES ini konteksnya adalah : sebagai bentuk dukungan terhadap proses politik dan demokrasi (penjaringan) yang dilakukan PDIP di Malang kota dan mengkampanyekan Pilkada damai, jujur dan bersih di seluruh Indonesia maka WES kemungkinan akan mendapatkan perhatian elit DPP bahkan publik lebih luas. WES berpeluang menjadi 'promotor demokrasi' nya banteng bahkan rekom.

WES harus memperluas opini perjalanannya tidak sekedar rekom pilkada kota Malang melainkan kampanye demokrasi Indonesia yang lebih beradab di tahun politik 2018 dan 2019 mendatang. (red1). (bersambung -edisi pilkada kota Malang).