MAKNA EKO-KULTURAL 'WANA-GIRI-TIRTHA' RI PAWITRA

Ilustrasi sumber mata air / google
Oleh :  M. Dwi Cahyono (Sejarahwan, Akademisi dan Arkeolog)
Sejauh sumber data yang telah ditemukan, Linggoprasasti Cunggrang bertarikh 929 Masehi yang in situ di daerah Gempol merupakan sumber data tekstual yang kali perdana menyebut nama ‘Pawitra’, yakni nama arkhais untuk sebuah ‘gunung suci (holy mountain)’ yang kini familier dengan sebutan ’Penanggungan’. Ada indikasi bahwasanya toponimi ‘Pawitra’ ada-lah sebutan bagi gunung ini oleh warga yang bermukim di lembah sisi utara. Adapun bagi warga yang tinggal di sisi selatannya, sebutan baginya adalah ‘Penanggungan’ – sebagaimana diindikatori oleh adanya sebuah desa pada sub-area selatannya yang bernama demikian. ‘Ardi Pawitra’ dengan demikian merupakan nama kuno baginya. Sementara nama yang hadir lebih kemudian adalah ‘Penanggungan’.
Konteks pemberitaan tentang Pawitra dalam Prasasti Cunggrang tersebut berkenaan dengan bhakti suci Pu Sindok, yang berabhisekanama (nama gelar) Isana, terhadap ayah mertuanya, yakni Rakryan Bawang. Beliau adalah yayah (ayah) dari permaisuri (parameswari) Sindok, yang bergelar ‘Rakryan Sri Parameswari Sri Warddhani pu Kbi’. Boleh jadi, Bawang adalah varian penyebutan untuk’ ‘Wawa’ (Bawa  Wawa, pertukaran kosonan B dengan W), yaitu salah orang raja di Kerajaan Mataram, yang merupakan raja pendahulu dari Sindok. Desa Cunggrang yang masuk dalam wilayah Bawang tersebut ditetapkan sebagai perdikan (sima, swatantra) bagi patapan di Pawitra serta Sang Hyang Prasada Silunglung yang diperuntuk-kan bagi Sang Siddha Dewa Rakryan Bawang. Timbal balik atas waranugraha (anugerah) terhadap warga desa (wanua) Cunggrang berupa kewajiban untuk memelihara patapan dan prasada, termasuk memperbaiki (umahawya) pancuran di Pawitra. Tergambar dalam teks prasasti itu adalah bahwa Pawitra merupakan suatu gunung yang pada paro pertama abad X M. diyakini sebagai gunung suci, sehingga air yang mengalir lewat pancuran-nya diyakini sebagai tirtha (air suci).
Kolam air untuk menampung tirtha (patirthan) itu kini dikenal dengan sebutan ‘Pathirthan Belahan’, atau berdasar media sakralisasi air – yang berupa payudara (tetek) sepasang dewi, yakni Sri dan Laksmi, maka sebutan lain baginya adalah ‘patirthan Sumber Tetek’. Penem-patan kedua arca dewi tersebut pada dua relung apit di bagian bawah dinding partirthan serta arca pancuran pada relung tengah merupakan hasil bina ulang (pemugaran) pada medio abad XI M, tepatnya tahun Saka 971 (1049 M), yang didasarkan kepada candrasangkala memet di pancuran air (jaladwara) berbunyi ‘candra rsi rahu’. Hal ini merupakan perwujudan dharma-bhakti lintas masa terhadap pancuran air – buah karya raja Wawa -- yang pada abad X pernah diperbaiki oleh Pu Sindok.
Air yang berasal dari Ardi Pawitra dan mengucur melalui pancuran itu bukan hanya menjadi uborampe utama untuk kepentingan ritual, namun sekaligus manjadi pemasok air yang urgen untuk persawahan beirigasi di Cunggrang dan desa-desa lain mendapat aliran air daripadanya yang dikelola dengan semacam ‘manajemen subak’ maupun untuk memenuhi kebutuhan air bersih bagi rumah tangga warga desa dan bagi para pertapa yang tinggal sementara di lereng bawah atau di lembah Gunung Pawitra. Sebagai gunung yang disucikan, air yang berasal dari rimbunan tanaman hutan (wana) bukan hanya diyakini mempunyai ‘daya pembersih (diksa)’, namun dipercayai pula memiliki daya penyubur (fertility) bagi aneka tanaman budi daya di persawahan warga yang muasal irigasinya dari hutan-gunung (wanagiri) di Pawitra. Relasi hutan-gunung maupun hutan-air (wanatirtha) tergambar memiliki akar sejarah panjang pada kawasan eko-kultural Pawitra ini.
Kesucian Pawitra (Penanggung) bukan baru bermula pada abad X, namun jauh lebih tua lagi. Tinggalan purbakala bertradisi Megalitik di Dusun Balekambang Desa Biting dan desa-desa lain di seputaran Penanggungan menjadi idikator akan pensuciannya sejak Jaman Prasejarah, yang puncaknya diyakini sebagai tempat persemayaman arwah nenek moyang (ancestors). Pensakralan terhadapnya berkesimbungan hingga memasuki Masa Hindu-Buddha, setidaknya tergambar pada pada abad X Masehi tersebut. 
Selain situs Belahan dan mandala di dekatnya, kesucian Pawitra kembali dibuktikan oleh de-ngan adanya patithan Belahan, yang berdasarkan kronogram (angka tahun) pada dinding sisi belakangnya telah dibangun pada tahun Saka 899 (977 Masehi).

Ada kemungkinan, patithan ini pernah direnovasi bersamaan waktu dengan renovasi terhadap patirthan Belahan pada me-dio abad XI. Arca dewata yang berfungsi sebagai pancuran (jaladwara), dalam wujud Dewa Wisnu mengendarai wahana Garuda pada dinding patirtha sisi tengah, yakni oleh banyak ahli diidentifikasikan sebagai arca pewujudan Airlangga, memberi indikasi bahwa Airlangga bukan hanya menjalankan dharmmabhakti kepada patirthan Belahan, namun tanpa terkecuali bertindak serupa terhadap patirthan di Jolotundo yang dibangun pada tahun 977 M. Kedua kolam suci ini menegaskan bahwa Pawitra merupakan suatu gunung suci, padamana tirtha di lerang timur laut pada patirthan Belahan dan di lerang barat daya pada patirthan Jolotundo berasal.
Toponimi ‘Jolotundho’, yang bersal dari kata ‘jala (air)’ dan ‘tunda (tingkat, tangga)’, meng-gambarkan kecangghinan teknolgi aquatic pada patirthan ini. Air yang muasalnya dari tebing atas dialirkan secara bertingkat (bertangga) melalui saluran air bawah permukaan untuk dialirkan ke bak-bak penampung air yang berada di bagian bahwahnya lewat ragam bentuk pancuran air. 
Bak-bak tersebut ditata ‘secara berundak’ ke dalam tiga teras. Mula-mula air dikucurkan melalui arca pancuran Wisnu naik Garuda dan arca pancuran yang berwujud replika Meru (Himalaya) yang pada situs ini divisualkan dalam bentuk sebuah puncak utama dikelilingi delapan puncak lain yang lebih kecil di bagian bawahnya (1 + 8). Kemuncat air dari sembilan lobang pancuran ini lantas mengisi dua buah bak air – yang ditata secara berteras dan saling mengisikan air lewat lobang lobang pacuran masing-masing, dan akhirnya mengisi kolam utama di bagian paling bawah. 
Dengan demikian, air mengisi kolam utama melaliui pancuran-pancuan air secara bertingkat dalam tiga teras aliran air. Selain itu, air dari sumber air (tuk) didistribusikan untuk mengisi bilik kanan dan kiri melalui arca pancuran berbentuk Garuda dan Naga. Keduanya mensimbolkan ‘dualisme kosmologis’, yakni dunia atas yang presentasikan oleh jaladwra berbentuk garuda pada bilik mandi bagi pria dan dunia bawah yang diwakili oleh jaladwara benbentuk Naga pada bilik mandi bagi wanita. Pancuran pancuran air lainnya, yang berbentuk teratai menguncup, mengalirkan air ke kolam bawah.
Demikianlah, Patirthan Jolotundo menyuguhkan fakta akan kecanggihan distribusi air sekali-gus prinsip ‘Pipa U’ yang dikenal dalam teknologi hidrologi modern. Lebih dari itu, kolam suci ini sarat akan ‘sistem simbol’, yang antara lain tampak pada bentuk-bentuk simbolik dari pancuran-pancuran airnya. Salah satu pancuran yang simbolik tersebut berupa replika gunung Meru. Sebenarnya, replika Meru tidak hanya tergambar padanya, namun secara alamiah juga diperlihatkan oleh bentuk geografis dari gunung Pawitra/Penanggungan yang memiliki sebu-ah puncak utama dikelilingi oleh empat buah puncak lain (1 + 4) yang lebih kecil dan lebih rendah. Oleh karena itu, tepatlah yang dikemukakan oleh W.F. Stutterheim bahwa G. Pawitra merupakan replika gunung suci Meru (Himalaya). Atau dengan kata lain, gunung ini adalah Merunya Dwipa Jawa.
Bukan hanya puncak Merunya saja yang dipandang suci, yang dalam konsepsi Hindu-Buddha diyakini sebagai Kaindran, namun lereng hingga lembahnya sekalipun disakralkan pula. Hal inilah yang antara lain menjadi dasar pertimbangan untuk menempatkan lebih dari seratus ba-ngunan suci – utamanya yang berasal dari Masa Akhir Majapahit (abad XV-XVI M) yang bergaya arsitektural ‘Neo-megalitik’ – sebutan yang dilansir oleh W.F. Stutterheim. Demgan demikian, dalam lintas masa kawasan purbakala di Pawitra diposisikan secara religis sebagai gunung suci. Ternyata, pensuciannya tidak hanya berhenti pada masa Hindu-Buddha, namun terus berlanjut hingga memasuki masa-masa beri-kutnya hingga kini.
Kekayaan, keunikan, kemenarikan dan urgensi peninggalan purbakala di Pawitra menjadikan kawasan purbakala ini layak diposisikan sebagai kawasan arkeologi-sejarah yang utama di wilayah Jawa Timur. Oleh karena itu, cukuplah alasan untuk menempatkannya sebagai cagar budaya tingkat propinsi, yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai suatu destinasi wisata budaya unggulan di Jawa Timur. Semoga kesadaran demikian tidak hanya sekedar menjadi daya dorong untuk memanfaatkan situs arkologi-sejarah ini untuk kepentingan pariwisata, namun selaras itu disertai dengan upaya memadai untuk melestarikannya.
Akhirul kalam, semoga telaah ringkas yang bersahaja ini membuahkan makna bagi para bijak budaya dan lingkungan. 
Salam budaya ‘Nuswantarajyati’.
Wassalammualaikum Wr. Wb, 
Rahayu.
PAYEMBAYAN CITRALEKHA
Sengkaling, 21 Mei 2016